Rabu, 09 Desember 2009

Gerakan Sosial 9 Desember Anti korupsi

Video Aksi Demo Anti Korupsi 9 Desember 2009.PERINGATAN Hari Antikorupsi Sedunia 9 Desember 2009 jatuh pada hari Rabu. Peringatan Hari Antikorupsi tahun ini khususnya di Indonesia bisa dibilang ’’istimewa”. Pasalnya, partisipasi publik dalam merespon peringatan tersebut luar biasa besar dengan turun ke jalan di kurang lebih 400 kota/kabupaten di 33 provinsi. Tentu, aksi turun ke jalan yang paling menarik dan paling banyak menyedot perhatian publik adalah yang berlangsung di Jakarta. Selain karena berlangsung di jantung Republik Indonesia, juga karena jumlah warga masyarakat yang ikut ambil bagian dalam aksi tersebut sangat besar.

Video Aksi Demo Anti Korupsi, Menurut sejumlah tokoh aktivis Kompak (Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi) seperti Efendi Gazali dan Fadjroel Rachman, warga masyarakat yang akan berpartisipasi turun ke jalan pada tanggal 9 Desember nanti akan mencapai puluhan ribu, bahkan tidak menutup kemungkinan bisa mencapai seratus ribu orang. Para pendukung Kompak bersama kalangan aktivis organisasi lain termasuk organisasi sosial keagamaan semisal Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah akan tumpah-ruah di jalan-jalan di ibu kota negara untuk mendesak pemerintah agar tegas dan cepat (tidak ragu) menyapu bersih segala bentuk tindak korupsi sampai ke akarakarnya. Tak ketinggalan, kalangan artis seperti Franky Sahilatua, Rieke ’’Oneng” Dyah Pitaloka, dan grup musik Slank juga ikut ambil bagian dalam gerakan sosial antikorupsi 9 Desember 2009.

Gerakan sosial antikorupsi 9 Desember 2009 itu telah direspon agak berlebihan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan mengatakan ’’(rencana) aksi turun ke jalan oleh sebagian warga masyarakat pada 9 Desember 2009 berpotensi mengandung motif politik dan ditunggangi pihak-pihak tertentu.

Pertanyaannya, mengapa warga masyarakat sebagaimana direpresentasikan oleh Kompak, NU, Muhammadiyah, Bendera (Benteng Demokrasi Rakyat), maupun organisasi- organisasi lainnya begitu antusias menyambut peringatan Hari Antikorupsi Sedunia 9 Desember 2009 dengan turun ke jalan-jalan, sebagai simbol keseriusannya mendesak pemerintah memberantas tuntas (tanpa pandang bulu dan tidak tebang pilih) segala tindak korupsi di republik ini? Adakah motif politik (sebagaimana dikhawatirkan Presiden SBY) dalam gerakan sosial antikorupsi pada 9 Desember 2009?

Kondisi memuakkan
Sebuah aksi/gerakan sosial oleh warga masyarakat selalu dilatarbelakangi oleh situasi (kondisi) memuakkan di tempat warga masyarakat itu tinggal (hidup). Begitu halnya gerakan sosial antikorupsi 9 Desember 2009. Gerakan ini juga dilatari oleh kondisi yang benar-benar memuakkan, terutama di bidang hukum, dalam tata penyelenggaraan pemerintahan (negara).

Bagaimana publik tidak muak? Setelah lebih dari satu dasa warsa era reformasi, sektor hukum masih dalam keadaan status quo, masih seperti di era Orde Baru (Orba): hukum dapat dibeli. Para penegak hukum terutama di lingkungan kejaksaan dan kepolisian tampak ’’sengaja” memperjualbelikan hukum. Proses hukum terhadap suatu perkara (kasus) dapat diatur, sehingga keadilan dalam berhukum tidak dapat berdiri tegak. Supremasi hukum di tanah air belum dapat ditegakkan setelah 11 tahun roda reformasi berjalan di republik ini.

Bila suatu perkara melibatkan rakyat jelata (orang biasa dan miskin), dan orang itu berada di posisi yang dianggap salah, maka proses hukumnya berlangsung cepat. Dan, rakyat jelata yang dianggap salah itu dijatuhi hukuman secara berlebihan. Kasus Mbah Minah di Banyumas yang dijatuhi hukuman satu setengah bulan kurungan tahanan karena dianggap terbukti ëmenyurií tiga buah Kakao seharga tak lebih dari Rp 2000, adalah salah satu contohnya.

Namun, jika suatu perkara melibatkan orang yang berotot kuat (berkantung tebal ataupun berkedudukan tinggi di pemerintahan), aparat penegak hukum acap kali bermain api dengan membuka kesempatan kepada orang yang berperkara untuk leluasa bernegosiasi dengan kalangan penegak hukum guna mengatur proses hukumnya dari awal persidangan hingga akhir (putusan). Terlalu banyak contoh kasus untuk disebutkan di sini. Salah satunya yang paling mutakhir adalah kasus ’’perampokan” uang negara Rp 6,7 triliun oleh Robert Tantular, pemilik Bank Century yang kini berganti nama Bank Mutiara. Robert Tantular yang jelasjelas menyalahgunakan dana talangan Bank Indonesia (BI) hampir Rp 7 triliun —yang kini melebar ke ranah politik (dengan lolosnya pembentukan Panitia Khusus atau Pansus di DPR RI untuk mengusutnya secara tuntas)— itu hanya divonis hukuman empat tahun penjara potong tahanan.

Sangat parah
Kebobrokan institusi-institusi penegak hukum di negeri ini benar-benar sangat parah karena calo-calo hukum berkeliaran di mana-mana di seputar (lingkungan) institusi-institusi tersebut. Para calo berjalin kelindan dengan para aparat penegak hukum hingga mereka tampil penuh sebagai penentu hitam-putihnya putusan atas sebuah atau beberapa perkara. Terbongkarnya jaringan mafia Anggodo Widjojo (adik kandung koruptor Anggoro Widjojo, bos PT Massaro, yang ini tinggal di Singapura) yang berdasarkan rekaman hasil penyadapan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang diputar oleh Mahkamah Konstitusi awal November lalu terbukti sebagai dalang kriminalisasi KPK, memperjelas keberadaan mafia hukum di lingkungan penegak hukum sehingga mempersulit upaya menegakkan supremasi hukum di tanah air.

Terbongkarnya jaringan Anggodo benar-benar memperjelas betapa sangat parah bobroknya institusiinstitusi penegak hukum di mata masyarakat awam. Betapa tidak! Anggodo yang nyata-nyata bersalah di mata publik (suka menyuap aparat penegak hukum, mengancam membunuh salah seorang pimpinan KPK nonaktif Chandra Hamzah, dan menyatut nama Presiden SBY dalam konspirasi jahat kriminalisasi KPK) sampai hari ini masih berlenggang- kangkung (tidak ditangkap dan diadili).

Di luar itu semua, orang-orang penting di pemerintahan yang harusnya mempertanggungjawabkan perannya dalam pengucuran dana talangan BI hampir Rp 7 triliun kepada Bank Century, seperti mantan Gubernur BI (kini menjabat Wakil Presiden) Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, kini masih duduk manis di kursi kekuasaannya masing-masing. Keduanya tampak full-confidence dan seolah tak ada yang salah dengan keputusannya mengucurkan triliunan rupiah dana talangan BI ke Bank Century yang kemudian diselewengkan oleh si pemilik bank tersebut.

Pun, Presiden SBY —yang selalu sangat ekstra-hati-hati dalam merespon setiap kasus yang melibatkan para pembantunya " hingga detik ini tampak ’’masih diam”, belum mau bersikap (apa lagi ambil tindakan) terhadap pihak-pihak yang paling bertanggung jawab atas penggelontoran dana BI RP 6,7 triliun kepada Bank Century itu.

Maka, sungguh wajar dan masuk akal apabila sebagian warga masyarakat merasa muak terhadap segala kondisi terkini yang terkait dengan bobroknya institusi-institusi penegak hukum maupun otoritas-otoritas ekonomi dan politik yang dinilai tidak sejalan dengan arus publik yang menginginkan ketegasan dalam menindak siapa pun yang ditengarai telah terbukti bertindak salah (melanggar hukum) dan menciderai suara (aspirasi) hati nurani rakyat pada umumnya.

Dan, sungguh mudah dipahami kemuakan mereka yang membuncah pada tanggal 9 Desember 2009 ini dengan menggalang kekuatan massa dalam jumlah besar yang terakomodir dalam gerakan sosial antikorupsi, yang serentak turun ke jalanjalan di tak kurang dari 400 kota/ kabupaten di 33 provinsi.

Kelambanan Presiden SBY
Berdasarkan pertimbangan itu semua, cukup sulit untuk menemukan adanya motif politik di balik gerakan sosial antikorupsi tanggal 9 Desember 2009. Jikalau ada, hal itu tentu tak lepas dari lambannya Presiden SBY dalam menyikapi dua pembantunya (Wapres Boediono dan Menkeu Sri Mulyani) yang oleh sebagian warga masyarakat dianggap bersalah karena telah menggelontorkan dana talangan BI lebih dari enam triliun rupiah ke Bank Century yang ternyata diselewengkan oleh Robert Tantular.

Kalaupun Presiden SBY berpendapat gerakan sosial antikorupsi 9 Desember 2009 bermuatan politik, tentu pendapat itu juga wajar adanya. Tak salah Presiden SBY berpendapat seperti itu.

Tidak ada komentar: